Lagu Untuk Papi

Pagi ini matahari bersinar indah sekali. Sinar hangatnya menyapa wajah kusutku yang belum mandi dalam perjalanan ke terminal. Aku kan gag akan bertemu siapa-siapa. Kataku dalam hati. Karena itulah, kuputuskan untuk nekat berjalan menuju kota Solo dalam keadaan belum mandi. Bukannya apa-apa, aku hanya takut, waktunya tidak akan sempat kalau aku harus mandi dulu, sementara hari ini adalah hari Jum’at. Artinya, suka tidak suka aku harus sampai di rumah sebelum jam 12, karena terbentur dengan ibadah Sholat Jum’at. Apalagi, perjalanan Jogja – Solo menjadi luar biasa lama karena aku naik transportasi umum. Karena itulah aku terpaksa tidak mandi. Oke, aku memang hanya beralasan saja. 🙂

Begitu sampai di terminal, aku langsung dapat bis Langsung Jaya, sebuah bis lokal Jogja – Solo yang tidak begitu terkenal, sepertinya. Dan tanpa pikir panjang, aku langsung naik dan mencari tempat duduk.

Di dalam perjalanan, mungkin karena hari ini hari Jum’at, maka banyak sekali pengamen. Maklum, di dalam agama Islam, hari Jum’at adalah hari yang besar. Hari di mana sedekah dinilai lebih besar oleh Allah. Hari di mana pada jaman dahulu, para sahabat saling berlomba-lomba untuk beramal dan bersedekah. Hari Jum’at, hari terindah di dunia. Hari yang semoga, aku meninggal di dalamnya. Aamiin.

Pengamen datang silih berganti, menyanyikan lagu populer, maupun lagu khas pengamen. Dari lagu-lagu D’Massive dan Armada, sampai lagu-lagu Asolole (kutulis begitu, karena aku tidak tahu, siapa penyanyinya, hehe) Beberapa dari mereka ada yang bagus sekali, beberapa ada yang modal bisa berteriak saja. Tapi intinya, mereka bertahan hidup. Itu saja.

Sampai tiba-tiba seorang pengamen menyanyikan lagu “ayah”. Dan itu membuatku terenyuh.

Bahwa ternyata, sudah 6 tahun sejak kepergianmu waktu itu, Papi…

Tiba-tiba, semua memori tentangmu menyeruak keluar. Membuatku ingat, beberapa hal manis bersamamu. Saat engkau membelikanku pistol-pistolan dari Australia yang membuatku senang. Apalagi, saat itu aku juga melihat rona bahagia di paras ayu ibuku. Bagaimana tidak senang, jika akhirnya dia dapat bertemu kamu lagi, setelah terpisah tiga bulan di negeri orang?

Aku juga ingat saat engkau memarahiku habis-habisan saat aku mengeluarkan kata “bajingan” dari mulutku. Bahkan, sebenarnya itu tidak bisa dikatakan sebagai bentuk memarahi. Itu lebih cocok dikatakan sebagai “menghajar”. Yah, aku memang keterlaluan waktu itu. Mana ada seorang anak SD kelas 4 yang mengeluarkan kata-kata kotor di dalam rumahnya sendiri? Engkau memang tegas. Walaupun terkadang, aku sering mendengar engkau berkata kotor juga, haha!

Dan saat itu, saat dimana aku merasakan periode terkelam dalam hidupku. Aku yang masih kelas 6 SD harus menghadapi kenyataan bahwa aku membuatmu dipanggil ke Sekolah, karena kenakalanku! Bagaimana mungkin aku bisa mengatakannya padamu? Pada masa itu, orang tua dipanggil ke sekolah adalah lambang kenakalan si anak yang tidak bisa dimaafkan. Ya, kesalahanku tidak bisa dimaafkan oleh para guru waktu itu. Dan aku takut. Aku takut mengatakannya kepadamu…

Lalu tanpa kusangka, engkau menerimaku dengan lembut waktu itu. Bukan gertakan, bukan wajah marah, apalagi cacian yang kau berikan kepadaku.

Hanya senyum.

Serta pelukan hangat yang menyapa riang di kulitku. Aku yang ketakutan dan bergetar hebat mendadak menjadi tenang di dalam pelukanmu. Nyaman, dan tenteram. Membuatku sadar, engkau adalah Papi yang selalu menyanyangiku. Selalu…

Ahh, aku merindukanmu, orang yang pandai bersajak dan berpuisi.

Mendadak aku kembali teringat pada tujuan hidupku. Bahwa aku akan melampauimu.

Aku akan melampauimu dalam hal karir, di mana engkau pernah menelurkan berbagai macam buku yang royaltinya masih kurasakan sampai sekarang.

Aku akan melampauimu dalam hal cinta, dimana sampai sekarang, Ibuku masih saja menangis dalam sholat malamnya untuk mendoakanmu. Bahkan sampai sekarang, kenangannya bersamamu masih sering membuatnya tersenyum bahagia, kau tahu itu?

Bahkan, aku akan melampauimu dalam cara mati. Aku yakin kau seorang syahid, karena engkau meninggal dalam kegiatan menatar para guru muda. Dan karena itulah, aku selalu berdo’a, bahwa aku akan mati dalam keadaan yang lebih baik darimu, Papi!

Papi, I miss U so much. And everytime i look at myself, i always think, “What will you say about me?”

“Prioritaskan…” katamu suatu saat, “Prioritaskan apa yang akan kamu lakukan, sesuai dengan tujuan hidupmu!”

🙂

6 Komentar

Filed under Gag jelas, Sehari-hari

6 responses to “Lagu Untuk Papi

  1. Saya gak kuat dengan cerita begini… 😥

  2. mbrebes mili aku macane bro

  3. angga

    aku bakal nemenin kamu sampe semua tujuanmu tercapai… 🙂

  4. aaaakk, mbrambang aku le maca… 😦

  5. Ian Bood

    thx nu 🙂

Silahkan berkomentar dengan sopan dan asik. Insya Allah gue bakal kunjungan balik :)